Perikanan
budidaya dimasa mendatang mempunyai peluang sebagai penggerak ekonomi sekaligus
menjadi salah satu produk ketahanan pangan Indonesia. Pemenuhan permintaan ikan
dunia dari penangkapan suatu saat nanti akan menemui titik kejenuhan karena
adanya overfishing. Potensi budidaya
laut Indonesia terbuka lebar untuk memenuhi permintaan dunia akan ikan
tersebut, apalagi didukung oleh visi Kementrian Kelautan dan Perikanan yang
akan menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan dan kelautan terbesar
didunia pada tahun 2015. Ketersediaan benih yang berkualitas seperti benur yang
dihasilkan oleh CP Prima memegang peranan penting dalam keberhasilan usaha
budidaya. Saat ini ketersediaan benih ikan laut yang berkualitas dalam jumlah
yang memenuhi masih sulit tercapai karena berbagai permasalahan seperti kualitas
induk, kualitas pakan, dan teknologi yang digunakan.
Penggunaan
pakan alami Artemia impor dalam
pembenihan berbagai jenis komoditas laut di dunia masih sangatlah dominan.
Komoditas ekonomi penting perikanan laut seperti kerapu, bawal bintang, kakap,
tuna, lobster, maupun udang yang meningkat membuat permintaan artemia impor
selalu tinggi. Begitu juga dengan CP Prima sebagai perusahaan yang juga
memproduksi benur dengan pakan Artemia impor. Berdasarkan
data KKP (2013), pemenuhan kebutuhan artemia bergantung pada impor hingga
mencapai 97.259 (US$ 1743970) pada 2010 dan 80.010 kg (US$ 1.604.869) pada
2011. Disisi lain, fakta menunjukkan kandungan nutrisi rotifer dan artemia
belum mencukupi kebutuhan nutrisi larva ikan laut, khususnya pada kandungan eicosapentaenoic
acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) (Molejon dan
Alvarez-Lajonchere, 2003; Olivotto et al., 2010; Santhanam dan Perumal, 2012).
Perlu ada
pengganti Artemia impor mengingat
permintaan artemia impor dari seluruh penjuru dunia akan meningkat seiring
dengan berkembangnya teknologi budidaya perikanan laut, sedangkan stok artemia
di alam terbatas. Pengembangan artemia lokal yang merupakan upaya budidaya
artemia impor dengan tambak garam di Indonesia masih belum bisa memenuhi
kebutuhan karena terkendala aspek bioteknis. Perlu ada pemanfaatan sumberdaya
pakan alami dari perairan Indonesia sebagai pakan alami pengganti Artemia impor yang secara jelas harganya
tidaklah murah. Di negara lain seperti Jepang, Korea, India, dan Norwegia sudah
mulai mengkaji pengembangan budidaya copepoda skala massal untuk menggantikan
posisi Artemia impor sekaligus
rotifer.
Beberapa
kajian menyatakan bahwa copepoda
dapat digunakan sebagai pengganti Artemia impor dalam pembenihan ikan laut. Copepoda memenuhi kualifikasi sebagai
pakan alami yang baik dan memiliki keunggulan dibanding Artemia impor
dalam kandungan nutrisinya. Kandungan EPA, DHA dan omega 3 copepoda memiliki
angka lebih tinggi dibandingkan Artemia (Olivotto et al., 2010). Kandungan nutrisi tersebut penting
dalam mendukung pertumbuhan larva ikan laut dan
meningkatkan kualitas serta kuantitas benih termasuk menjaga daya tahan stres, sehingga bisa memenuhi permintaan benih untuk
pembesaran. Kajian untuk kultur masal berbagai jenis copepoda seperti Acartia tonsa, Trigriopus sp., dan Oithona
sp sudah banyak dilakukan. Penelitian Oithona sp. sebagai pakan alami dibandingkan dengan Artemia dan rotifer atau dengan copepoda
jenis lain pada larva ikan laut juga sudah
dilakukan. Beberapa diantaranya menunjukkan peningkatan pada masing -masing kandungan
eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) kerapu
bebek (Cromileptes altivelis) (Aliah et
al., 2010), kelulushidupan kuda laut (Hippocampus
kuda) (Redjeki, 2007) dan pertumbuhan
dan kelulushidupan kakap (Lates
calcalifer) (Santhanam dan Perumal, 2012). Kajian kelayakan ekonomi
produksi copepoda untuk penggunaan komersial oleh Abate et al. (2014)
menunjukkan bahwa produksi intensif copepoda telah terbukti layak secara
ekonomis dan kompetitif dengan pakan alami yang ada saat ini. Seiring kemajuan
teknologi di bidang perikanan, suatu saat nanti akan ditemukan kemudahan
penggunaan copepoda seperti halnya kemudahan dalam penggunaan kista Artemia.
Daftar Pustaka :
Abate,
T. G., R. Nielsen, M. Nielsen, G. Drillet, P.M. Jepsen, and B.W. Hansen. 2014. Economic Feasibility of Copepod Production for Commercial
use: Result from a Prototype Production Facility. Aquaculture (2014),
doi: 10.1016/j.aquaculture.2014.10.012.
Aliah, R.S., Kusmiyati dan D. Yaniharto. 2010. Pemanfaatan
Copepoda Oithona sp. sebagai Pakan Hidup Larva Ikan Kerapu. Jurnal
Sains dan Teknologi Indonesia.,12(1): 45 - 52.
Molejo´n,
O.G.H and L. Alvarez-Lajonche`re. 2003. Culture Experiments with Oithona
oculata Farran, 1913 (Copepoda: Cyclopoida), and It’s Advantages as Food
for Marine Fish Larvae. Aquaculture., 219: 471 – 483.
Olivotto,
I., N.E. Tokle, V. Nozzi, L. Cossignani
and O. Carnevali. 2010. Preserved Copepods as a New Technology for The Marine
Ornamental Fish Aquaculture: a Feeding Study. Aquaculture., 308: 124 – 131.
Redjeki,
S. 2007. Pemberian Copepoda Tunggal dan Kombinasi Sebagai Mikroalga Kuda Laut (Hippocampus).
Universitas Diponegoro, Semarang., 12(1): 1 - 5.
Santhanam, P. And
P. Perumal. 2012. Evaluation Of The
Marine Copepod Oithona rigida Giesbrecht
As Live Feed For Larviculture Of Asian Seabass Lates calcarifer Bloch With Special Reference to
Nutritional Value. Indian J.
Fish., 59(2) : 127 - 134.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar